Minggu, 13 Oktober 2013

Jeritan Akar Rumput




Prambanan…prambanan…janti….
Tiga ribu lima ratus, Bu”. Hah?!.mahal kali!, biasanya kan dua ribu lima ratus” nenek tua bangka itu melototkan matanya, menuntut penjelasan. Semua harga naik mbah, cabe aja berapa sekilo sekarang”?? lah apa hubungannya??. Harga barang kan ikut naik semua… piye to mbah??nenek tua Bangka itu ngeyel. Tapi mau tak mau dibukanya dompet usangnya yang biasa diselipkan di dadanya, dan mengeluarkan koin lima ratus rupiah. “nihch kulo tambah” ia mengangkat tas belanjanya sambil bersungut-sungut turun.  Aku mau protes tapi mesin angkot mulai mengeluarkan suara menderu-deru. Pak Ripto sudah nggak sabar ingin kembali untuk memacu kendaraan butut itu. Ku lihat raut muka penumpang semuanya  juga kelihatan tak sabar. Akhirnya aku melompat kepintu,”tariiiikk”
Heran, tambah hari manusia tambah semakin  pelit saja, keluhanku dalam hati sambil berpegangan di bibir pintu. Angin kota bercampur polusi asab kendaraan menampar-nampar pipiku. Cuma disuruh nambah seribu aja minta ampun sewotnya. Pagi baru menunjukan jam setengah delapan. Tapi  udah tujuh kali aku di omeli orang gara-gara menaikan tariff. Seharusnya jangan aku yang diomeli. Mengomelah sama pemerintah. Atau siapa saja yang bertanggung jawab atas harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus merambat naik. Selalu orang kecil seperti aku ini yang menjadi korban sewenang-wenang mereka. Kami para kernet dan sopir angkot jadi serba salah. Mau menaikan tarif sedikit, masyarakat langsung ngomel-ngomel. Pakai tarif lama, hidup kami semakin kembang kempis di cekik harga-harga yang membumbung tinggi.
Kiri pak!!”citt….angkot berhenti mendadak. Terdengar gimaman-gumaman kecil bercampur omelan. Beberapa penumpang mengelus-elus kepalanya yang terbentur didinding angkot. Seorang pria setengah baya turun dan menyerahkan selembar uang kertas lima ribuan. Ku serahkan kembali seribu lima ratus. “Lho biasanya kan tiga ribu???” protesnya. “udah naik lima ratus pak” sahut ku santai. Dia tidak berkata-kata lagi. Namun kerutan di jidatnya yang rada-rada botak itu jelas-jelas menampakan kekesalan. Yang ini lain lagi, pikirku setelah angkot kembali berjalan. Cumin uang lima ratus aja , pelit boangat cih!!. Beberapa saat kemudian ankot berhenti didepan segerombolan pemuda. Ku hitung-hitung jumlahnya ada lima orang. Monggo, mas. Masih kosong ujarku ramah sambil mengibas-ngibaskan tangan kepada para penumpang, meminta mereka bergeser. Sempat kulirik buku-buku tebal yang dibawa pemuda itu. Judulnya, aduhaiii..nggak bisa aku membacanya..bahasa asing smua..pasti mereka mahasiswa. Mahasiswa owh Mahasiswa, aku kembali berbicara dalam hati. Katanya agent of change, membawa perubahan. Apanya yang berubah??semangkin banyak orang pintar di Negeri ini, Negeri ini semangkin amburadul. Ngabisin duit banyak untuk kuliah, nyatanya nyolong uang rakyat. Janji-janji manis  ketika  kampanye tahunya omong kosong belaka. Hahhh. .tak tau lah. .untuk apa pintar kalau hanya ingin ngibulin orang. .yang jadi korban selalu rakyat kecil seperti aku ini..hufffggg!!!!. .
Iseng-iseng aku menguping obrolan para mahasiswa itu. Rupanya mereka sedang membicarakan polemik Negara ini yang kusut tak tahu ujung pangkalnya, katanya ada mapia pajak yang nyolong uang rakyat ratusan triliun rupiah, dia bisa enak-enak keluar masuk penjara, jalan-jalan keluar Negeri malahan. Yach. . hukum di Indonesia itu kayak pisau kebawah nya saja yang tajam, keatasnya tumpul. Coba saja akar rumput kayak aku ini nyolong ayam, itu hukumnya tiga bulan penjara, belum lagi kalau digebukin masa, huggff.. sedangkan mereka yang nyolong uang rakyat triliunan gitu, penjara dibuat bagai rumah sendiri. Ahg. .tak taulah aku. .
Mahasiswa itu terus diskusi dengan toupik dan bahasa yang tak aku pahami. Ah, Mahasiswa kalau ngomong kok mbuket gitu yach?. Pada hal kalau aku bandingkan mereka dengan aku , kayaknya kami sebaya. Bulan depan usiaku genap dua puluh satu tahun. Tapi aku nggak bisa berbahasa sekeren mereka. Mungkin gara-gara aku nggak pernah makan bangku perkuliahan. Yach, kehidupan, mereka sunguh jauh berbeda dengan aku. Kalau sehari-hari mereka pusing mikirin tugas kuliah dan ujian, aku malah pusing mikirin gimana cara membayar tumpukan hutang yang kian menggunung. Kalau mereka bisa menikmati, nikmatnya hidup membujang. Aku malah disibukan usaha mencari duit yang bukan semata-mata untuk diriku sendiri.  Soalnya dirumah kotrakanku yang sempit itu, setiap hari menunggu dengan manisnya istriku tercinta, Zuliana. Tambahan dirahim istriku sekarang tertanam Janinku, yang semakin lama semakin besar. Ya, tidak lama lagi akan jadi ayah. Ya, nggak apa-apalah kawin cepat dari pada kebanyakan anak muda sekarang, udah berpendidikan tapi tetap saja melanggar norma-norma adat dan agama, kumpul kerbo lah, free sex lah namanya. .he. .he sock tau juga aku ya?
Angkot kembali berhenti kali ini pelan tanpa decitan rem. Dua orang mbak-mbak berjilb lebar turun salah satu diantara mereka mengeluarkan selembar sepuluh ribuan. “ kembaliannya ambil aja mas”. Aku tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Ternyata masih ada aja orang yang murah hati. Posisi mbak-mbak yang turun itu kemudian digantikan oleh dua orang gadis, sama-sama berjilbab, tapi aku merasa aneh melihat mereka. Soalnya walaupun memakai jilbab, tapi pakaian mereka ketat sekali. Hugghh, kalau sampai Ana memakai pakaian seperti itu, pasti langsung kuomeli. Aku nggak rela tubuh molek Ana dipelototi laki-laki lain, dengan cermin saja aku enggan berbagi he..he. Heran perempuan zaman sekarang, semakin edan saja. Yang berjilbab malah lebih merangsang daripada yang nggak berjilbab. Bicara tentang jilbab aku jadi teringat sama istriku tercinta. Walupun keadaan keimanan aku seperti ini tapi aku kagum sama cewek yang berjilbab. Kesannya anggun gituch. Beberapakali aku meminta Ana untuk berjilbab.  Tapi aku harus ngupulin uang dulu untuk beliin ana jilbab, itu susahnya kalau orang miskin.
Kampus UIN mas!! Kelima pemuda yang tadi asyik berdiskusi turun, mereka memberikan uang pas padaku. Syukurlah jadi nggak perlu ribut-ribut lagi. .makasih mas “kata ku” mereka membalas dengan senyum hampa. .angkot trus melaju,  satu per satu penumpang turun di tempat tujuan masing-masing.
Ciiiit, bunyi angkot butut itu mengrem. Sekarang sudah tiba di Prambanan, saatnya aku ngisi perut.  Cacing didalam perutku udah pada demo nich, sebab tadi mau berangkat cuman diganjal dengan sepotong singkong rebus dan segelas teh pahit. Ana bilang pada ku tadi, “mas beras kita udah habis, dan gula juga nggak ada” nggak apa-apa, ntar kita beli yach habis mas narek, “kata ku”. Trus terang melihat ketulusan dan kesabaran ana, perut ku udah kenyang, melihat senyumannya, teh yang tadinya pahit terasa manis.
Selesai makan aku dan pak Ripto siap-siap untuk berangkat lagi. Pak Ripto menstarter angkotnya, sekali, dua kali, sampai sepuluh kali gagal. Ia menyumpah-nyumpah. “mogok lagi. .dasar angkot butut,  kerjanya nyusain orang saja. Sangut ku sambil mendorong benda berwarna biru itu sambil di bantu teman-teman sama kernet. Tidak berhasil mesinnya tetap tidak mau hidup.
Hari masih sore, saat tubuh penatku memasuki rumah kontrakanku yang sempit dan sumpek. Hari ini aku pulang tanpa membawa apa-apa. Angkot terpaksa masuk bengkel, hasil kami mengangkut penumpang bahkan tidak cukup untuk melunasi setoran hari ini. Wajahku lusuh, sekusut pikiran ku yang dipenuhi oleh hutang-hutangku pada orang-orang.
Seperti biasa, senyuman Ana menyambutku. Hatiku jadi sedikit terhibur melihatnya. . .he. .he.
Tiga hari sudah aku nganggur. Bingung apa yang mau aku kerjakan, tiap hari aku merenungi nasibku dan orang-orang yang senasib dengan ku. Kita tinggal di Negeri yang kaya tapi banyak orang miskin, salah satunya aku. Kemiskinan menjadi penyakit turunan karena kurangnya pendidikan dan bimbingan untuk maju.
Ana menghampiriku, dia mengelus pundak ku, mase!!!, kita sudah tidak punya apa-apa lagi, beras udah habis, gula, sabun juga. Walaupun dia berusaha mengatakan dengan senyum, tapi senyumannya tidak semanis kemaren.  Melihat ketulusannya aku jadi merasa bersalah. Betapa ingin aku membahagiakannya dengan keadaan yang sedang hamil muda sekarang ini. Kata mbok Arum, tetangga kami, istriku itu sebenarnya sedang ngidam jeruk, tapi ia nggak tega minta sama aku.
Hiruk- pikuk suara orang-orang dan mesin kendaraan membuat kepalaku mendadak pusing. Iseng-iseng aku menyimak siaran lokal yang bergema dari radio mbok Inem, berita didominasi seputar kenaikan BBM, katanya dalam waktu dekat BBM akan ada sinyal untuk naik lagi. Hufggg. .kalau BBM naik semua barang pasti akan ikut naik, apa lagi profesiku sebagai kernet ini semakin teracam.
Ah. .dari pada aku mikirin BBM mendingan aku nyari pekerjaan lain saja ahhh. Siapa tahu ada sopir angkot lain yang butuh kernet. Pikirku sambil berjalan menghampiri para sopir yang sedang asyik membersihkan angkot-angkotnya.
Pagi ini, setelah berhari-hari nganggur, akhirnya aku kembali bisa bekerja. Angkot sudah selesai diperbaiki. Sebelum angkot berangkat berburu penumpang, aku sudah persiapkan diri untuk menjalani rutinitasku, yang unik, membosankan, tapi asyik, nilai sosialnya tinggi. Pagi ini telingaku udah penuh dengan omelan penumpang.  Aku cuman bisa mengelus dada. Omelan para penumpang berusaha tidak ku ambil hati.
Jalan sepi. Kayaknya rezekiku hari ini agak seret. Jalanan dijaga oleh Tentara. Katanya orang-orang sih di Cirebon ada pengeboman di Mesjid dalam lingkungan KAPOLRES lagi. Tapi di Jogja ada pengaruhnya juga yach, banyak petugas yang berjaga-jaga.
Turrr. .rrut tututut 3x. .tiba-tiba mesin angkot terbatuk-batuk, tersentak sejenak lalu mati. Pak Ripto berusaha menyalakan kembali, berkali-kali tapi gagal. Sementara kendaraan yang ada dibelakang kami mulai ramai membunyikan kalakson. Pak Ripto bergegas keluar untuk mendorong si ‘jago mogok’ kepinggir trotoar. Sementara aku memberikan isyarat kepada para penumpang untuk segera turun. Mbak-mbak, mas-mas, “silakan oper kebelakang “. Kataku ditengah hiruk-pikuk suara kalakson dan mesin kendaraan yang menderu-deru. Ku pandangi tubuh-tubuh penumpang yang turun dengan hati getir. Hilanglah rezekiku enam kali tiga ribu lima ratus, jumlah yang tidak sedikit untuk seorang kernet angkot.
Wajah Ana terbayang, menari-nari dipelupuk mataku. Pada hal hari ini aku berniat mengajak pak Ripto untuk bekerja lebih giat lagi. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa melunasi hutang-hutangku. Dan sebagian dari gajiku hari ini akan ku belikan jeruk, dan aku berikan surf price ke Ana, karena Ia sudah lama mengidam-idamkannya. Pada hal aku sudah merencanakan surf price ini jauh-jauh hari sebelumnya. Ya Allah, kenapa justru pada saat aku ingin membahagiakan istriku engkau justru tidak mendukungnya? Keluhku sambil memanggil pak Ripto yang tengah mengutak atik mesin angkot. Bisa aku bantu Pak?” aku menawarkan bantuan”. Pak Ripto melirikku tak acuh, tanda tidak butuh bantuan. Aku menghela nafas, melangkah lunglai lalu duduk dipintu angkot sambil melipat kaki. Ku letakan dagu diatas kedua lututku sambil merenungi nasibku. Teringat do’aku saat sholat subuh tadi. Sambil ngomel-ngomel dalam hati “Ya Allah aku kan tidak minta macam-macam, cuman diberikan rezeki lebih hari ini, biar bisa beli sekilo jeruk untuk istriku. Itu saja”. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah kotak terbungkus kardus seukuran aki mobil dibawah bangku. Ku kernyitkan keningku. Apa itu?penuh rasa ingin tahu.
Aku mendekati benda itu, mendadak perasaanku tidak enak, ku pandangi benda itu dengan dada berdebar-debar. Rasa takut dan cemas berkecamuk teringat berita berbagai media dewasa ini, yang memuat berita terror bom, seperti di Cirebon, atau mungkin terror bom yang berupa paket buku atau apalah. Jangan-jangan benda itu “pikirku”.
“maaf, mas”. Suara berat seorang laki-laki mengejutkan ku. Aku menoleh. Salah seorang penumpang yang naik angkot ini tadi melongokan kepalanya dipintu.  Matanya terlihat mencari-cari sesuatu “owh. .utung masih ada” diraihnya benda itu dengan hati-hati.  “Tertinggal mas” ujarnya. Ia berbalik kemudian turun dari angkot dengan hati-hati pula. Perasaanku tambah berkecamuk “tunggu” aku melompat. Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku. Aku berjalan mendekatinya, apa isi kotak itu? Tanyaku sambil menatap tajam. Laki-laki itu tampak terkejut. ‘’loch, bukan urusan anda’’. “pasti isinya bom” tuduhan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Entah kenapa?, perasaanku mengatakan orang ini bukan orang baik-baik.”a. .ap. .pa?” wajahnya memerah “jangan sembarangan anda nuduh yach”! “anda bisa saya tuntut karena menyebar pitnah”. “ coba saja kalau berani” aku ikut-ikutan panas. Ia melotot sesaat tubuhnya berbalik hendak lari. Tapi tanganku lebih sigap. Ku tarik krah kemejanya kuat-kuat, ia kehilangan keseimbangan. Kotak ditangannya terjatuh dan pecah, isinya berserakan. Mulutku menganga, “ya Allah, apa yang telah aku lakukan?”, sesalku.  Ternyata bukan bom tapi, kupandang bubuk putih yang berceceran di trotoar. Wajah lelaki itu memucat. Tentara yang sedang berjaga-jaga didepan kantor PLN, berdatangan menghampiri kami. Sejumlah polisi yang sedang dinas di Polres juga satu per satu berdatangan. “Ada apa ini” Tanya salah seorang Polisi. Tak ada jawaban, lelaki yang terlibat insiden denganku tadi kelihatan gemetar, wajahnya sebeku dan sepucat es. Polisi itu berjongkok, kemudian dicoleknya dan diciumnya bubuk putih yang berserakan itu. Keningnya berkerut. Heroin “ujarnya pelan tapi pasti”.
Hari yang melelahkan aku berada di kantor Polisi sampai menjelang sore. Lelaki yang terlibat insiden denganku itu ternya anggota sindikat penjual NARKOBA. Polisi memitaku untuk menjadi saksi atas kejadian itu. Mereka menanyaiku bermacam-macam. Satu orang Polisi yang menanyaiku dan setiap perkataanku diketik oleh Polisi lainnya. Uffggg. . .orang ini terlalu berbelit-belit, gara-gara mereka aku tidak bisa mencari nafkah hari ini. Pak Ripto sudah dari tadi pergi dengan angkotnya yang sudah berhasil diperbaiki.
 Akhirnya menjelang Ashar pemeriksaan selesai. ‘’terimakasih mas Yoni, atas kerjasamanya”, seorang Polisi menyalamiku hangat. Ku pikir dia pasti kepala Polisi disini. Sebab Polisi-polisi lain sangat begitu hormat kepadanya. “owh . .yach mas Yoni, bisa ikut keruangan ku sebentar?” pitanya. Wah, aku mau diapakan lagi pak? “Tanyaku polos, sambil menggaruk-garuk kepala’’. “jangan kawatir, sampeyan tidak akan di apa-apakan, sebentar saja”. “hari ini ulang tahun saya” katanya sambil mempersilahkan aku duduk. “wah, selamat ulang tahun, pak”. “Anak-anak buah saya memberikan saya hadiah ini”, ia menunjuk sesuatu yang terletak di pojok meja kerjanya. Aku mengikuti arah tunjuknya. Parcel berisi buah-buahan. Ada apel, anggur, mangga, pisang dan jeruk. Semuanya kelihatan segar dan menggiurkan. Anak-anak dan istri saya lagi keluar kota, dan saya tidak suka buah-buahan. Kalau saya bawa pulang buah-buahan ini akan mubadzir. Jadi bagaimana kalau buah-buahan ini untuk mas Yoni saja?”. Mataku membelalak, seakan tidak percaya dengan pendengaranku. Kutatap wajah polisi itu lekat-lekat. Tidak, dia tidak sedang bercanda. Kontan dadaku melonjak-lonjak seperti mendapat durian runtuh. Wajah Ana yang ceria kembali terbayang dengan manisnya. “terimakasih pak”, ujarku bergetar. Dadaku diliputi rasa haru.
Pak polisi yang ramah itu tersenyum. “ada satu lagi mas Yoni, adik saya lagi butuh tukang kebun. Saya rasa mas orang yang tepat. Kalau kerja disana, mas dapat gaji yang tetap plus uang makan. Kalau sampeyan mau, saya berikan alamatnya”. Mataku kian melebar, tapi kemudian sesaat meredup. Keharuanku memuncak. Astagfirullah, setumpuk penyesalan meronai hatiku, meletup-letup diantara getar-getar kegembiraan yang menghiasi sudut kalbu. Betapa aku malu, aku sudah berprasangka yang tidak-tidak sama Gusti Allah. Pada hal yang ku minta hanya sekilo jeruk, ternyata DIA member lebih dari yang ku minta. Air mata penyesalan dan kegembiraan berbaur jadi satu menyesaki kedua sudut mataku, mengiringi puji syukurku atas karunia-NYA.