Prambanan…prambanan…janti….
Tiga ribu lima ratus, Bu”.
Hah?!.mahal kali!, biasanya kan dua ribu lima ratus” nenek tua bangka itu
melototkan matanya, menuntut penjelasan. Semua harga naik mbah, cabe aja berapa
sekilo sekarang”?? lah apa hubungannya??. Harga barang kan ikut naik semua…
piye to mbah??nenek tua Bangka itu ngeyel. Tapi mau tak mau dibukanya dompet usangnya
yang biasa diselipkan di dadanya, dan mengeluarkan koin lima ratus rupiah.
“nihch kulo tambah” ia mengangkat tas belanjanya sambil bersungut-sungut
turun. Aku mau protes tapi mesin angkot
mulai mengeluarkan suara menderu-deru. Pak Ripto sudah nggak sabar ingin
kembali untuk memacu kendaraan butut itu. Ku lihat raut muka penumpang
semuanya juga kelihatan tak sabar.
Akhirnya aku melompat kepintu,”tariiiikk”
Heran, tambah hari manusia tambah
semakin pelit saja, keluhanku dalam hati
sambil berpegangan di bibir pintu. Angin kota bercampur polusi asab kendaraan
menampar-nampar pipiku. Cuma disuruh nambah seribu aja minta ampun sewotnya.
Pagi baru menunjukan jam setengah delapan. Tapi
udah tujuh kali aku di omeli orang gara-gara menaikan tariff. Seharusnya
jangan aku yang diomeli. Mengomelah sama pemerintah. Atau siapa saja yang
bertanggung jawab atas harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus merambat
naik. Selalu orang kecil seperti aku ini yang menjadi korban sewenang-wenang
mereka. Kami para kernet dan sopir angkot jadi serba salah. Mau menaikan tarif
sedikit, masyarakat langsung ngomel-ngomel. Pakai tarif lama, hidup kami
semakin kembang kempis di cekik harga-harga yang membumbung tinggi.
Kiri pak!!”citt….angkot berhenti
mendadak. Terdengar gimaman-gumaman kecil bercampur omelan. Beberapa penumpang
mengelus-elus kepalanya yang terbentur didinding angkot. Seorang pria setengah
baya turun dan menyerahkan selembar uang kertas lima ribuan. Ku serahkan
kembali seribu lima ratus. “Lho biasanya kan tiga ribu???” protesnya. “udah
naik lima ratus pak” sahut ku santai. Dia tidak berkata-kata lagi. Namun
kerutan di jidatnya yang rada-rada botak itu jelas-jelas menampakan kekesalan.
Yang ini lain lagi, pikirku setelah angkot kembali berjalan. Cumin uang lima ratus
aja , pelit boangat cih!!. Beberapa saat kemudian ankot berhenti didepan
segerombolan pemuda. Ku hitung-hitung jumlahnya ada lima orang. Monggo, mas.
Masih kosong ujarku ramah sambil mengibas-ngibaskan tangan kepada para
penumpang, meminta mereka bergeser. Sempat kulirik buku-buku tebal yang dibawa
pemuda itu. Judulnya, aduhaiii..nggak bisa aku membacanya..bahasa asing
smua..pasti mereka mahasiswa. Mahasiswa owh Mahasiswa, aku kembali berbicara
dalam hati. Katanya agent of change, membawa perubahan. Apanya yang
berubah??semangkin banyak orang pintar di Negeri ini, Negeri ini semangkin
amburadul. Ngabisin duit banyak untuk kuliah, nyatanya nyolong uang rakyat.
Janji-janji manis ketika kampanye tahunya omong kosong belaka. Hahhh.
.tak tau lah. .untuk apa pintar kalau hanya ingin ngibulin orang. .yang jadi
korban selalu rakyat kecil seperti aku ini..hufffggg!!!!. .
Iseng-iseng aku menguping obrolan
para mahasiswa itu. Rupanya mereka sedang membicarakan polemik Negara ini yang
kusut tak tahu ujung pangkalnya, katanya ada mapia pajak yang nyolong uang
rakyat ratusan triliun rupiah, dia bisa enak-enak keluar masuk penjara,
jalan-jalan keluar Negeri malahan. Yach. . hukum di Indonesia itu kayak pisau
kebawah nya saja yang tajam, keatasnya tumpul. Coba saja akar rumput kayak aku
ini nyolong ayam, itu hukumnya tiga bulan penjara, belum lagi kalau digebukin
masa, huggff.. sedangkan mereka yang nyolong uang rakyat triliunan gitu,
penjara dibuat bagai rumah sendiri. Ahg. .tak taulah aku. .
Mahasiswa itu terus diskusi dengan
toupik dan bahasa yang tak aku pahami. Ah, Mahasiswa kalau ngomong kok mbuket
gitu yach?. Pada hal kalau aku bandingkan mereka dengan aku , kayaknya kami
sebaya. Bulan depan usiaku genap dua puluh satu tahun. Tapi aku nggak bisa
berbahasa sekeren mereka. Mungkin gara-gara aku nggak pernah makan bangku
perkuliahan. Yach, kehidupan, mereka sunguh jauh berbeda dengan aku. Kalau
sehari-hari mereka pusing mikirin tugas kuliah dan ujian, aku malah pusing
mikirin gimana cara membayar tumpukan hutang yang kian menggunung. Kalau mereka
bisa menikmati, nikmatnya hidup membujang. Aku malah disibukan usaha mencari
duit yang bukan semata-mata untuk diriku sendiri. Soalnya dirumah kotrakanku yang sempit itu,
setiap hari menunggu dengan manisnya istriku tercinta, Zuliana. Tambahan
dirahim istriku sekarang tertanam Janinku, yang semakin lama semakin besar. Ya,
tidak lama lagi akan jadi ayah. Ya, nggak apa-apalah kawin cepat dari pada
kebanyakan anak muda sekarang, udah berpendidikan tapi tetap saja melanggar
norma-norma adat dan agama, kumpul kerbo lah, free sex lah namanya. .he. .he
sock tau juga aku ya?
Angkot kembali berhenti kali ini
pelan tanpa decitan rem. Dua orang mbak-mbak berjilb lebar turun salah satu
diantara mereka mengeluarkan selembar sepuluh ribuan. “ kembaliannya ambil aja
mas”. Aku tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Ternyata masih ada aja
orang yang murah hati. Posisi mbak-mbak yang turun itu kemudian digantikan oleh
dua orang gadis, sama-sama berjilbab, tapi aku merasa aneh melihat mereka. Soalnya
walaupun memakai jilbab, tapi pakaian mereka ketat sekali. Hugghh, kalau sampai
Ana memakai pakaian seperti itu, pasti langsung kuomeli. Aku nggak rela tubuh
molek Ana dipelototi laki-laki lain, dengan cermin saja aku enggan berbagi
he..he. Heran perempuan zaman sekarang, semakin edan saja. Yang berjilbab malah
lebih merangsang daripada yang nggak berjilbab. Bicara tentang jilbab aku jadi
teringat sama istriku tercinta. Walupun keadaan keimanan aku seperti ini tapi
aku kagum sama cewek yang berjilbab. Kesannya anggun gituch. Beberapakali aku
meminta Ana untuk berjilbab. Tapi aku harus ngupulin uang dulu untuk
beliin ana jilbab, itu susahnya kalau orang miskin.
Kampus UIN mas!!
Kelima pemuda yang tadi asyik berdiskusi turun, mereka memberikan uang pas padaku. Syukurlah jadi nggak perlu
ribut-ribut lagi. .makasih mas “kata ku” mereka membalas dengan senyum hampa. .angkot
trus melaju, satu per satu penumpang
turun di tempat tujuan masing-masing.
Ciiiit, bunyi
angkot butut itu mengrem. Sekarang sudah tiba di Prambanan, saatnya aku ngisi
perut. Cacing didalam perutku udah pada
demo nich, sebab tadi mau berangkat cuman diganjal dengan sepotong singkong
rebus dan segelas teh pahit. Ana bilang pada ku tadi, “mas beras kita udah habis,
dan gula juga nggak ada” nggak apa-apa, ntar kita beli yach habis mas narek,
“kata ku”. Trus terang melihat ketulusan dan kesabaran ana, perut ku udah
kenyang, melihat senyumannya, teh yang tadinya pahit terasa manis.
Selesai makan aku
dan pak Ripto siap-siap untuk berangkat lagi. Pak Ripto menstarter angkotnya, sekali, dua kali, sampai
sepuluh kali gagal. Ia menyumpah-nyumpah. “mogok lagi. .dasar angkot
butut, kerjanya nyusain orang saja.
Sangut ku sambil mendorong benda berwarna biru itu sambil di bantu teman-teman
sama kernet. Tidak berhasil mesinnya tetap tidak mau hidup.
Hari masih sore,
saat tubuh penatku memasuki rumah kontrakanku yang sempit dan sumpek. Hari ini
aku pulang tanpa membawa apa-apa. Angkot terpaksa masuk bengkel, hasil kami
mengangkut penumpang bahkan tidak cukup untuk melunasi setoran hari ini.
Wajahku lusuh, sekusut pikiran ku yang dipenuhi oleh hutang-hutangku pada
orang-orang.
Seperti biasa,
senyuman Ana menyambutku. Hatiku jadi sedikit terhibur melihatnya. . .he. .he.
Tiga hari sudah
aku nganggur. Bingung apa yang mau aku kerjakan, tiap hari aku merenungi
nasibku dan orang-orang yang senasib dengan ku. Kita tinggal di Negeri yang kaya tapi banyak
orang miskin, salah satunya aku. Kemiskinan menjadi penyakit turunan karena
kurangnya pendidikan dan bimbingan untuk maju.
Ana menghampiriku,
dia mengelus pundak ku, mase!!!, kita sudah tidak punya apa-apa lagi, beras
udah habis, gula, sabun juga. Walaupun dia berusaha mengatakan dengan senyum,
tapi senyumannya tidak semanis kemaren.
Melihat ketulusannya aku jadi merasa bersalah. Betapa ingin aku
membahagiakannya dengan keadaan yang sedang hamil muda sekarang ini. Kata mbok
Arum, tetangga kami, istriku itu sebenarnya sedang ngidam jeruk, tapi ia nggak
tega minta sama aku.
Hiruk- pikuk suara orang-orang
dan mesin kendaraan membuat kepalaku mendadak pusing. Iseng-iseng aku menyimak
siaran lokal yang bergema dari radio mbok Inem, berita didominasi seputar
kenaikan BBM, katanya dalam waktu dekat BBM akan ada sinyal untuk naik lagi. Hufggg.
.kalau BBM naik semua barang pasti akan ikut naik, apa lagi profesiku sebagai
kernet ini semakin teracam.
Ah. .dari pada aku
mikirin BBM mendingan aku nyari pekerjaan lain saja ahhh. Siapa tahu ada sopir
angkot lain yang butuh kernet. Pikirku sambil berjalan menghampiri para sopir
yang sedang asyik membersihkan angkot-angkotnya.
Pagi ini, setelah
berhari-hari nganggur, akhirnya aku kembali bisa bekerja. Angkot sudah selesai
diperbaiki. Sebelum angkot berangkat berburu penumpang, aku sudah persiapkan diri
untuk menjalani rutinitasku, yang unik, membosankan, tapi asyik, nilai sosialnya tinggi.
Pagi ini telingaku udah penuh dengan omelan penumpang. Aku cuman bisa mengelus dada. Omelan para penumpang berusaha
tidak ku ambil hati.
Jalan sepi.
Kayaknya rezekiku hari ini agak seret. Jalanan dijaga oleh Tentara. Katanya
orang-orang sih di Cirebon ada pengeboman di Mesjid dalam lingkungan KAPOLRES lagi.
Tapi di Jogja ada pengaruhnya juga yach, banyak petugas yang berjaga-jaga.
Turrr. .rrut tututut 3x. .tiba-tiba mesin angkot terbatuk-batuk,
tersentak sejenak lalu mati. Pak Ripto berusaha menyalakan kembali, berkali-kali tapi gagal. Sementara kendaraan
yang ada dibelakang kami mulai ramai membunyikan kalakson. Pak Ripto bergegas keluar untuk mendorong si ‘jago mogok’
kepinggir trotoar. Sementara aku memberikan isyarat kepada para penumpang untuk
segera turun. Mbak-mbak, mas-mas, “silakan oper kebelakang “. Kataku ditengah
hiruk-pikuk suara kalakson dan mesin kendaraan yang menderu-deru. Ku pandangi
tubuh-tubuh penumpang yang turun dengan hati getir. Hilanglah rezekiku enam
kali tiga ribu lima ratus, jumlah yang tidak sedikit untuk seorang kernet
angkot.
Wajah Ana terbayang,
menari-nari dipelupuk mataku. Pada hal hari ini aku berniat mengajak pak Ripto untuk bekerja lebih
giat lagi. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa melunasi hutang-hutangku. Dan sebagian
dari gajiku hari ini akan ku belikan jeruk, dan aku berikan surf price ke Ana,
karena Ia
sudah lama mengidam-idamkannya. Pada hal aku sudah
merencanakan surf price ini jauh-jauh hari sebelumnya. Ya Allah, kenapa justru
pada saat aku ingin membahagiakan istriku engkau justru tidak mendukungnya?
Keluhku sambil memanggil pak Ripto yang tengah mengutak atik mesin angkot. Bisa
aku bantu Pak?” aku menawarkan bantuan”. Pak Ripto melirikku tak acuh, tanda
tidak butuh bantuan. Aku menghela nafas, melangkah lunglai lalu duduk dipintu
angkot sambil melipat kaki. Ku letakan dagu diatas kedua lututku sambil
merenungi nasibku. Teringat do’aku saat sholat subuh tadi. Sambil ngomel-ngomel
dalam hati “Ya Allah aku kan tidak minta macam-macam, cuman diberikan rezeki
lebih hari ini, biar bisa beli sekilo jeruk untuk istriku. Itu saja”. Tiba-tiba
mataku tertumbuk pada sebuah kotak terbungkus kardus seukuran aki mobil dibawah
bangku. Ku kernyitkan keningku. Apa itu?penuh rasa ingin tahu.
Aku mendekati benda itu, mendadak
perasaanku tidak enak, ku pandangi benda itu dengan dada berdebar-debar. Rasa
takut dan cemas berkecamuk teringat berita berbagai media dewasa ini, yang memuat
berita terror bom, seperti di Cirebon, atau mungkin terror bom yang berupa
paket buku atau apalah. Jangan-jangan benda itu “pikirku”.
“maaf, mas”. Suara berat seorang
laki-laki mengejutkan ku. Aku menoleh. Salah seorang penumpang yang naik angkot
ini tadi melongokan kepalanya dipintu.
Matanya terlihat mencari-cari sesuatu “owh. .utung masih ada” diraihnya
benda itu dengan hati-hati. “Tertinggal mas”
ujarnya. Ia berbalik kemudian turun dari angkot dengan hati-hati pula.
Perasaanku tambah berkecamuk “tunggu” aku melompat. Laki-laki itu menghentikan
langkahnya dan menoleh kepadaku. Aku berjalan mendekatinya, apa isi kotak itu?
Tanyaku sambil menatap tajam. Laki-laki itu tampak terkejut. ‘’loch, bukan
urusan anda’’. “pasti isinya bom” tuduhan itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Entah kenapa?, perasaanku mengatakan orang ini bukan orang
baik-baik.”a. .ap. .pa?” wajahnya memerah “jangan sembarangan anda nuduh yach”!
“anda bisa saya tuntut karena menyebar pitnah”. “ coba saja kalau berani” aku
ikut-ikutan panas. Ia melotot sesaat tubuhnya berbalik hendak lari. Tapi
tanganku lebih sigap. Ku tarik krah kemejanya kuat-kuat, ia kehilangan
keseimbangan. Kotak ditangannya terjatuh dan pecah, isinya berserakan. Mulutku
menganga, “ya Allah, apa yang telah aku lakukan?”, sesalku. Ternyata bukan bom tapi, kupandang bubuk
putih yang berceceran di trotoar. Wajah lelaki itu memucat. Tentara yang sedang
berjaga-jaga didepan kantor PLN, berdatangan menghampiri kami. Sejumlah polisi
yang sedang dinas di Polres juga satu per satu berdatangan. “Ada apa ini” Tanya
salah seorang Polisi. Tak ada jawaban, lelaki yang terlibat insiden denganku
tadi kelihatan gemetar, wajahnya sebeku dan sepucat es. Polisi itu berjongkok,
kemudian dicoleknya dan diciumnya bubuk putih yang berserakan itu. Keningnya
berkerut. Heroin “ujarnya pelan tapi pasti”.
Hari yang melelahkan aku berada di
kantor Polisi sampai menjelang sore. Lelaki yang terlibat insiden denganku itu
ternya anggota sindikat penjual NARKOBA. Polisi memitaku untuk menjadi saksi
atas kejadian itu. Mereka menanyaiku bermacam-macam. Satu orang Polisi yang
menanyaiku dan setiap perkataanku diketik oleh Polisi lainnya. Uffggg. . .orang
ini terlalu berbelit-belit, gara-gara mereka aku tidak bisa mencari nafkah hari
ini. Pak Ripto sudah dari tadi pergi dengan angkotnya yang sudah berhasil
diperbaiki.
Akhirnya menjelang Ashar pemeriksaan selesai.
‘’terimakasih mas Yoni, atas kerjasamanya”, seorang Polisi menyalamiku hangat.
Ku pikir dia pasti kepala Polisi disini. Sebab Polisi-polisi lain sangat begitu
hormat kepadanya. “owh . .yach mas Yoni, bisa ikut keruangan ku sebentar?”
pitanya. Wah, aku mau diapakan lagi pak? “Tanyaku polos, sambil menggaruk-garuk
kepala’’. “jangan kawatir, sampeyan tidak akan di apa-apakan, sebentar saja”. “hari
ini ulang tahun saya” katanya sambil mempersilahkan aku duduk. “wah, selamat
ulang tahun, pak”. “Anak-anak buah saya memberikan saya hadiah ini”, ia
menunjuk sesuatu yang terletak di pojok meja kerjanya. Aku mengikuti arah
tunjuknya. Parcel berisi buah-buahan. Ada apel, anggur, mangga, pisang dan
jeruk. Semuanya kelihatan segar dan menggiurkan. Anak-anak dan istri saya lagi
keluar kota, dan saya tidak suka buah-buahan. Kalau saya bawa pulang
buah-buahan ini akan mubadzir. Jadi bagaimana kalau buah-buahan ini untuk mas
Yoni saja?”. Mataku membelalak, seakan tidak percaya dengan pendengaranku. Kutatap
wajah polisi itu lekat-lekat. Tidak, dia tidak sedang bercanda. Kontan dadaku
melonjak-lonjak seperti mendapat durian runtuh. Wajah Ana yang ceria kembali terbayang
dengan manisnya. “terimakasih pak”, ujarku bergetar. Dadaku diliputi rasa haru.
Pak polisi yang ramah itu tersenyum.
“ada satu lagi mas Yoni, adik saya lagi butuh tukang kebun. Saya rasa mas orang
yang tepat. Kalau kerja disana, mas dapat gaji yang tetap plus uang makan.
Kalau sampeyan mau, saya berikan alamatnya”. Mataku kian melebar, tapi kemudian
sesaat meredup. Keharuanku memuncak. Astagfirullah, setumpuk penyesalan meronai
hatiku, meletup-letup diantara getar-getar kegembiraan yang menghiasi sudut
kalbu. Betapa aku malu, aku sudah berprasangka yang tidak-tidak sama Gusti
Allah. Pada hal yang ku minta hanya sekilo jeruk, ternyata DIA member lebih
dari yang ku minta. Air mata penyesalan dan kegembiraan berbaur jadi satu
menyesaki kedua sudut mataku, mengiringi puji syukurku atas karunia-NYA.